Saham Naik Gara-Gara Influencer? Waspadai Pom Pom Saham Berkedok Rekomendasi

Pom pom saham dilarang fatwa syariah dan bisa rugikan investor. Tapi benarkah hukum Indonesia cukup tegas terhadap praktik ini?
Pom pom saham dilarang fatwa syariah dan bisa rugikan investor. Tapi benarkah hukum Indonesia cukup tegas terhadap praktik ini?
Pom pom saham dilarang fatwa syariah dan bisa rugikan investor. Tapi benarkah hukum Indonesia cukup tegas terhadap praktik ini?

STRATEGI.ID – Pom pom saham, atau dikenal juga dengan skema pump-and-dump, adalah praktik mempromosikan saham secara berlebihan untuk mendorong kenaikan harga (pump), lalu menjual saham tersebut di harga puncak (dump). 

Dalam praktiknya, promosi ini sering dilakukan oleh influencer saham di Grup WhatsApp, Telegram, YouTube, atau media sosial lain, dan biasanya tidak didasarkan pada analisis fundamental yang memadai.

Fatwa DSN MUI No. 80 Tahun 2011 menyebut pom-pom saham sebagai tindakan yang mengandung unsur bai’ najasy (rekayasa harga), tadlis (penipuan), dan gharar (ketidakpastian). Hadis riwayat Bukhari dan Muslim bahkan secara eksplisit melarang bai’ najasy, yaitu menaikkan harga barang secara fiktif untuk menipu pembeli.

Dalam blognya, praktisi pasar modal Satrio Utomo menulis, pom-pom saham termasuk kategori “kedzaliman” dalam konteks syariah pasar modal. Dalam praktiknya, banyak investor ritel terjebak membeli saham yang harganya sudah dimanipulasi oleh promosi yang berlebihan. “Pom-pom ini bukan cuma soal etika, tapi juga soal moral. Ini permainan yang tidak adil,” ujar Satrio.

Bagaimana Regulasi BEI dan OJK Menyikapinya?

Dari sisi hukum positif Indonesia, pom-pom saham tidak secara eksplisit disebutkan dalam undang-undang. Namun, Pasal 91 dan 92 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal bisa menjadi dasar hukum karena memuat larangan penciptaan “gambaran semu” dan “manipulasi harga”.

Peraturan BEI Nomor II-A tentang Perdagangan Efek juga memantau transaksi tidak wajar seperti wash trading atau matched order yang biasa menjadi bagian dari skema pom-pom. Namun demikian, promosi melalui media sosial di luar bursa tidak dijangkau langsung oleh peraturan ini kecuali bisa dibuktikan sebagai bagian dari skema manipulasi harga.

“Masalahnya, selama tidak ada bukti transaksi yang jelas atau afiliasi formal antara para pelaku, praktik pom-pom ini nyaris tidak tersentuh hukum. Itulah kenapa kita menyebutnya dzalim: karena dia tidak melanggar hukum, tapi merusak pasar,” ungkap Satrio.

Dampak Langsung ke Investor Ritel

Investor ritel adalah korban utama dari praktik pom-pom saham. Mereka kerap membeli saham di harga tinggi akibat euforia yang diciptakan oleh promosi berlebihan. Begitu harga saham anjlok, kerugian pun tidak bisa dihindari.

“Banyak dari mereka yang baru masuk pasar dan belum cukup paham cara menganalisis. Ketika melihat influencer bicara ‘saham ini pasti terbang’, mereka langsung FOMO. Ini kesalahan sistemik,” jelas Satrio.

Dalam konteks syariah, kerugian seperti ini dianggap bertentangan dengan prinsip maslahah (kemaslahatan bersama) dan keadilan. Pasar modal seharusnya menjadi ruang yang jujur dan transparan, bukan arena manipulasi.

Etika, Bukan Sekadar Legalitas

Pom-pom saham memperlihatkan jurang antara hukum positif dan nilai-nilai syariah dalam pasar modal Indonesia. Selama praktik ini tidak menyentuh batas eksplisit hukum, pelaku akan terus mencari celah, terutama dengan memanfaatkan ruang bebas media sosial.

“Tidak semua yang tidak melanggar hukum itu berarti halal secara moral,” tegas Satrio. “Pasar modal yang sehat itu bukan cuma soal angka, tapi soal keadilan.” ***